Dampak Broken Home Bagi Anak

HerStory

Pendahuluan

Kasus perpecahan keluarga yang biasa disebut dengan perceraian keluarga berakibat fatal pada komponen keluarga lainnya, sehingga akan menimbulkan ketimpangan pada perilaku sosial khususnya anak. Anak akan mengalami perubahan sikap dan mental ketika kedua orang tua mereka mengalami perceraian, terutama bagi anak yang tidak memiliki saudara atau tunggal.

Namun biasanya anak yang memiliki latar belakang broken home memiliki mental yang kuat untuk lebih dalam bertahan hidup, tapi tidak sedikit pula yang kemudian minder atau merasa putus asa dalam keadaannya, karena keluarga merupakan sebuah unit dasar dalam masyarakat.

Hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa ketika anak-anak menyaksikan konflik antara orang tua mereka, ini akhirnya mengarah ke masalah di masa remaja mereka nantinya termasuk tingkat depresi dan kecemasan. Untuk lebih lanjut hasilnya nanti akan memungkinkan bahwa akan ada efek negatif jangka panjang dari pengalaman awal anak-anak ketika ada konflik antara orang tua mereka, seperti emosional mereka meningkat sebagai akibat dari konflik orang tua mereka

Apa itu Broken Home?

Broken home atau yang biasanya kita kenal dengan keluarga yang bercerai merupakan konflik keluarga dimana terdapat ketidaksepahaman pendapat antara suami dan istri sehingga tidak dapat disatukan kembali. Perceraian berasal dari kata cerai yang artinya berpisah dan dikenal dengan istilah broken home.  
Broken home diartikan sebagai keluarga yang retak, yaitu kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orangtua yang disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena perceraian sehingga anak hanya tinggal bersama satu orangtua kandung

Dampak Broken Home?

Efek dari broken family kepada anak ini sangat banyak gangguan implikasi secara mental dan psikologis terutama, anak akan lebih memilih menyendiri dalam kehidupan sehari-harinya dan kurang bersosialisasi. Broken home membuat anak menjadi tidak aman karena tidak lengkapnya anggota keluarga.

Pada hasil penelitian Septia (2006) membuktikan bahwa seorang anak dari keluarga yang berstatus orang tua ayah cenderung memiliki tingkat kemandirian yang lebih tinggi daripada dari keluarga yang berstatus ibu tunggal.

Kemandirian atau sifat independen menurut Chaplin (2002) adalah kebebasan individu untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri.

Kesimpulan

Hasil wawancara pada anak korban broken home menunjukkan tingkat resiliensi yang muncul akibat dari perceraian orangtua. Munculnya sikap tersebut ditandai dengan sikap independen atau tidak memihak pada kedua atau salah satu orangtua mereka pasca perceraian sehingga lebih mandiri.